Monday, October 31, 2011

Penilaian Imam Asy Syafie Terhadap Sufi

Oleh : Thoriq

Di beberapa tempat, Imam As Syafi’i telah memberi penilaian terhadap para sufi. Yang sering dinukil dari perkataan beliau mengenai sufi bersumber dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi.

Di dalam kitab itu, Imam As Syafi’i menyatakan,

“Kalau seandainya seorang laki-laki mengamalkan tashawuf di awal siang, maka tidak tidak sampai kepadanya dhuhur kecuali ia menjadi hamqa (kekurangan akal).” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Beliau juga menyatakan,

”Aku tidak mengetahui seorang sufi yang berakal, kecuali ia seorang Muslim yang khawwas.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Beberapa pihak secara tergesa-gesa menyimpulkan dari perkataan di atas bahwa Imam As Syafi’i mencela seluruh penganut sufi. Padahal tidaklah demikian, Imam As Syafi’i hanya mencela mereka yang menisbatkan kepada tashawuf namun tidak benar-benar menjalankan ajarannya tersebut.

Dalam hal ini, Imam Al Baihaqi menjelaskan,

”Dan sesungguhnya yang dituju dengan perkataan itu adalah siapa yang masuk kepada ajaran sufi namun mencukupkan diri dengan sebutan daripada kandungannya, dan tulisan daripada hakikatnya, dan ia meninggalkan usaha dan membebankan kesusahannya kepada kaum Muslim, ia tidak perduli terhadap mereka serta tidak mengindahkan hak-hak mereka, dan tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau sifatkan di kesempatan lain.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/208)

Jelas, dari penjelasan Imam Al Baihaqi di atas, yang dicela Imam As Syafi’i adalah para sufi yang hanya sebatas pengakuan dan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya.

Imam As Syafi’i juga menyatakan,

”Seorang sufi tidak menjadi sufi hingga ada pada dirinya 4 perkara, malas, suka makan, suka tidur dan berlebih-lebihan.” (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Imam Al Baihaqi menjelaskan maksud perkataan Imam As Syafi’i tersebut,

”Sesungguhnya yang beliau ingin cela adalah siapa dari mereka yang memiliki sifat ini. Adapun siapa yang bersih kesufiannya dengan benar-benar tawakkal kepada Allah Azza wa Jalla, dan menggunakan adab syari’ah dalam muamalahnya kepada Allah Azza wa Jalla dalam beribadah serta mummalah mereka dengan manusia dalam pergaulan, maka telah dikisahkan dari beliau (Imam As Syafi’i) bahwa beliau bergaul dengan mereka dan mengambil (ilmu) dari mereka. (Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Kemudian Imam Al Baihaqi menyebutkan satu riwayat, bahwa Imam As Syafi’i pernah mengatakan,

”Aku telah bersahabat dengan para sufi selama sepuluh tahun, aku tidak memperoleh dari mereka kecuali dua huruf ini,”Waktu adalah pedang” dan “Termasuk kemaksuman, engkau tidak mampu” (maknanya, sesungguhnya manusia lebih cenderung berbuat dosa, namun Allah menghalangi, maka manusia tidak mampu melakukannya, hingga terhindar dari maksiat).

Jelas, bahwa Imam Al Baihaqi memahami bahwa Imam As Syafi’i mengambil manfaat dari para sufi tersebut. Dan beliau menilai bahwa Imam As Syafi’i mengeluarkan pernyataan di atas karena prilaku mereka yang mengatasnamakan sufi namun Imam As Syafi’i menyaksikan dari mereka hal yang membuat beliau tidak suka. (lihat, Al Manaqib Al Imam As Syafi’i li Al Imam Al Baihaqi, 2/207)

Bahkan Ibnu Qayyim Al Jauziyah menilai bahwa pernyataan Imam As Syafi’i yang menyebutkan behwa beliau mengambil dari para sufi dua hal atau tiga hal dalam periwayatan yang lain, sebagai bentuk pujian beliau terhadap kaum ini,

”Wahai, bagi dua kalimat yang betapa lebih bermanfaat dan lebih menyeluruh. Kedua hal itu menunjukkan tingginya himmah dan kesadaran siapa yang mengatakannya. Cukup di sini pujian As Syafi’i untuk kelompok tersebut sesuai dengan bobot perkataan mereka. (lihat, Madarij As Salikin, 3/129)

Imam As Syafi’i Memuji Ulama Sufi

Bahkan di satu kesempatan, Imam As Syafi’I memuji salah satu ulama ahli qira’ah dari kalanagn sufi. Ismail bin At Thayyan Ar Razi pernah menyatakan,

”Aku tiba di Makkah dan bertemu dengan As Syafi’i. Ia mengatakan,’Apakah engkau tahu Musa Ar Razi? Tidak datang kepada kami dari arah timur yang lebih pandai tentang Al Qur`an darinya.’Maka aku berkata,’Wahai Abu Abdillah sebutkan ciri-cirinya’. Ia berkata,’Berumur 30 hingga 50 tahun datang dari Ar Ray’. Lalu ia menyebut cirri-cirinya, dan saya tahu bahwa yang dimaksud adalah Abu Imran As Shufi. Maka saya mengatakan,’Aku mengetahunya, ia adalah Abu Imran As Shufi. As Syafi’i mengatakan,’Dia adalah dia.’” (Adab As Syafi’i wa Manaqibuhu, hal. 164)

Walhasil, Imam As Syafi’I disamping mencela sebagian penganut sufi beliau juga memberikan pujian kepada sufi lainnya. Dan Imam Al Baihaqi menilai bahwa celaan itu ditujukan kepada mereka yang menjadi sufi hanya dengan sebutan tidak mengamalkan ajaran sufi yang sesungguhnya dan Imam As Syafi’i juga berinteraksi dan mengambil manfaat dari kelompok ini. Sedangkan Ibnu Qayyim menilai bahwa Imam As Syafi’i juga memberikan pujian kepada para sufi.

Dengan demikian, pernyataan yang menyebutkan bahwa Imam As Syafi’i membenci total para sufi tidak sesuai dengan data sejarah, juga tidak sesuaidengan pemahaman para ulama mu’tabar dalam memahami perkataan Imam As Syafi’i. Wallahu’alam…

Rujukan:

1. Manaqib Al Imam As Syafi’i, karya Al Baihaqi, t. As Sayyid Ahmad Shaqr, cet.Dar At Turats Kairo, th.1390 H.
2. Madarij As Salikin, karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah, cet. Al Mathba’ah As Sunnah Al Muhamadiyah, th. 1375 H.
3. Adab As Syafi’I wa Manaqibuhu, karya Ibnu Abi Hatim Ar Razi, cet. Dar Al Kutub Al Ilmiyah, th. 1424 H.

Sumber : http://almanar.wordpress.com/2011/06/03/imam-as-syafi%e2%80%99i-dan-para-sufi/

Tuesday, October 25, 2011

Memahami tabarruk


Oleh PANEL PENYELIDIKAN YAYASAN SOFA, NEGERI SEMBILAN

BERMULA minggu ini, ruang ini akan membahaskan persoalan tabarruk atau perbuatan mengambil berkat daripada seseorang atau sesuatu. Kefahaman atau salah faham tentang persoalan ini juga timbul dalam masyarakat kita.

Ramai umat Islam yang tidak memahami hakikat tabarruk sama ada dengan Nabi SAW atau pun kesan-kesan pusaka peninggalan Baginda SAW, keluarganya, ulama pewaris nNabi dan para wali, rahimahumullah.

Mereka menganggap orang yang mengambil jalan tabarruk, melakukan kesyirikan dan kesesatan lantaran kerana penelitian mereka yang sempit dan pemahaman akal mereka yang senteng.

Sebelum dijelaskan dalil-dalil dan bukti-bukti yang menunjukkan bahawa tabarruk diharuskan, bahkan juga disyariatkan, sewajarnya kita ketahui bahawa tabarruk itu tidak lain dan tidak bukan, hanyalah amalan tawassul kepada Allah SWT melalui perantaraan makhluk yang diambil berkat daripadanya itu; sama ada berupa kesan peninggalan, tempat atau seseorang manusia.

Adapun benda-benda yang mulia; dijadikan sebagai alat bertabarruk kerana dipercayai mempunyai kelebihan dan pendekatan dengan Allah SWT. Namun, tetap dipercayai mereka itu lemah untuk mendatangkan manfaat atau menolak mudarat, kecuali dengan iizin Allah SWT.

Sementara, barang-barang peninggalan; dijadikan alat bertabarruk kerana disandarkan kepada individu atau orang-orang yang mulia tersebut. Maka ia menjadi mulia kerana kemuliaan mereka. Ia juga menjadi agung, besar dan dikasihi kerana mereka, sama ada para nabi, rasul, ulama dan wali.

Begitu juga dengan tempat. Ia menjadi tempat yang berkat bukan semata-mata kerana tempat tersebut, tetapi kerana berlaku di tempat tersebut perkara-perkara kebaikan dan kebajikan; seperti solat, puasa dan ibadah-ibadah lain yang dilakukan oleh hamba-hamba Allah yang soleh.

Dengan kebaikan yang mereka lakukan di tempat tersebut, maka di situ diturunkan rahmat, dihadiri oleh malaikat dan diliputi ketenangan. Inilah keberkatan yang dituntut daripada Allah di tempat-tempat yang dimaksudkan.

Keberkatan ini boleh didapati di tempat-tempat tersebut melalui tawajjuh (menghadapkan permohonan) kepada Allah, berdoa kepada-Nya, beristighfar dan mengingati peristiwa-peristiwa penting dan mulia yang berlaku di tempat tersebut.

Dengan mengingati peristiwa mulia tersebut, akan menggerakkan jiwa-jiwa, membangkitkan keazaman dan semangat mencontohi insan-insan yang telah berjaya dan soleh.

Di bawah dipersembahkan nas-nas ini yang dipetik daripada risalah khusus Prof. Dr. Sayyid Muhammad 'Alawi al-Maliki yang bertajuk al-Barakah (keberkatan).

Bertabarruk dengan rambut dan ludah baginda SAW

Daripada Ja'far ibn Abdullah ibn al-Hakam, meriwayatkan: Bahawa Khalid ibn al Walid r.a kehilangan kopiah pada hari peperangan Yarmuk.

Dia berkata: "Carilah kopiah itu" Tetapi, para tentera tidak menemuinya. Khalid r.a berkata lagi, "Carilah lagi!" Akhirnya mereka menemuinya. Ternyata kopiah yang dicarinya itu hanyalah kopiah yang sudah usang.

Khalid r.a berkata: "Rasulullah SAW pernah mengerjakan umrah, lalu mencukur rambutnya. Orang ramai pun berebut-rebut hendak mendapatkan rambut Baginda SAW yang telah terpotong itu. Aku mendahului mereka untuk mendapatkan rambut daripada bahagian ubun kepala Baginda SAW.

Setelah mendapatnya, aku menyimpannya di dalam kopiah ini. Maka tidak ada peperangan pun yang aku ikuti dengan membawa kopiah ini bersamaku, melainkan aku diberikan kemenangan". (Berkata al Haithami: Telah meriwayatkan hadis ini al Tabrani dan Abu Ya'la juga meriwayatkan riwayat yang sama. Rijal kedua-duanya adalah sahih. Majma' al Zawaid 9:349. Hadis ini disebut oleh Ibnu Hajar di dalam al-Matolib al-'Aaliah 4:90)

Diriwayatkan daripada Malik ibn Hamzah ibn Abu Usaid al-Sa'idi al-Khazraji, daripada ayahnya, daripada datuknya Abu Usaid, dia mempunyai sebuah perigi di Madinah yang dikenali dengan Telaga Budha'ah.

Nabi SAW pernah berludah ke dalam perigi itu. Maka dia meminum air dari perigi itu, seraya memohon keberkatan dengannya. (Riwayat al-Tabrani dan rijalnya adalah dipercayai).

Keadaan sahabat bersama Rasulullah SAW

'Urwah ibn Mas'ud pernah menggambarkan keadaan para sahabat r.a bersama Nabi Muhammad SAW.

Imam al-Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya kepada al-Masur ibn Makhramah dan Marwan, kedua-duanya berkata: 'Urwah pun kembali kepada kaumnya. Dia berkata, "Wahai kaumku! Demi Allah! Sesungguhnya aku telah beberapa kali diutus kepada raja-raja; aku pernah diutus kepada Qaisar, Kisra, dan Najasyi. Demi Allah! Aku tidak pernah melihat seorang raja yang diagungkan oleh sahabat (rakyat)nya, seperti yang dilakukan oleh sahabat-sahabat Muhammad SAW.

"Demi Allah! Tidaklah Baginda SAW berludah, kecuali ludahnya itu jatuh di atas telapak tangan seseorang daripada mereka. Lalu, dia menggosok ludah itu ke muka dan kulitnya. Jika Baginda SAW menyuruh mereka, mereka berebut-rebut untuk melaksanakan perintahnya.

"Apabila Baginda SAW berwuduk, hampir saja mereka saling berbunuhan kerana merebut air wuduknya. Apabila mereka berbicara, mereka merendahkan suara di sisi Baginda SAW. Mereka juga tidak menajamkan pandangan kepadanya kerana membesarkannya". (riwayat Imam al-Bukhari dalam kitab al-Syurut, bab: 'Syarat-syarat Jihad'.)

Ulasan Al-Hafiz Ibnu Hajar mengenai kisah ini

Di dalam kisah di atas menunjukkan ludah (kahak) dan rambut yang telah terpisah dari jasad adalah suci, dan terdapatnya amalan tabarruk dengan sisa-sisa atau lebihan yang suci daripada orang-orang soleh.

Boleh jadi, para sahabat r.a melakukan perbuatan tersebut disebabkan kehadiran 'Urwah, dan mereka berlebih-lebihan melakukannya, sebagai isyarat untuk menolak anggapan 'Urwah yang khuatir para sahabat akan melarikan diri daripada Nabi SAW.

Mereka seolah-olah berkata dengan lisan hal (ujaran sikap): Orang yang mengasihi imam atau pemimpin mereka dengan kasih yang sebegini rupa dan membesarkannya dengan kemuliaan seperti ini, bagaimana boleh adanya sangkaan bahawa ia akan lari daripada pemimpinnya itu dan menyerahkannya kepada musuhnya?

Bahkan, para sahabat r.a tersebut sangat mencintai Baginda SAW, dan juga terhadap agamanya, serta kuat membantunya lebih kuat daripada kabilah-kabilah Arab yang saling memberikan perhatian di antara satu sama lain semata-mata kerana ikatan kasih (kekeluargaan).

Daripada riwayat tersebut juga dapat diambil kesimpulan, bahawa harus menggunakan pelbagai cara dan alat untuk mencapai tujuan melalui pelbagai jalan yang dibolehkan. (Lihat Fath al-Bari, 5: 341)

Thursday, October 13, 2011

Bolehkah Berpindah-Pindah Mazhab? Fahami dengan Teliti

Alhamdulillah banyak juga respon pembaca berkenaan artikel mazhab yang saya tulis baru-baru ini, cuma agak kesal dengan beberapa pihak yang tidak ingin mengambil faham terus mengunakan kata-kata yang mereka rasakan “professional” tetapi hakikatnya merekalah yang jauh daripada perkataan tersebut. Kalau benar-benar professional, maka seseorang tersebut akan meletakkan kerjanya bersesuaian dengan tugasnya.

Ya, semua orang sayangkan Islam. Jika benar-benar sayangkan Islam maka letakkan tugas kita pada tempatnya. Jika kita ceburi bukan apa yang ada di dalam bidang kita maka akan punah ranah jadinya. Contohnya mudah, sekumpulan pekerja memiliki sebuah kereta secara milikan bersama, kesemuanya menyayangi kereta tersebut. Ada yang pandai bahagian kendalian kereta tersebut, ada yang pandai bahagian tayarnya, dan ada yang pandai memandu dan ada yang tidak pandai memandu. Ya, masing-masing sayang dengan kereta tersebut. Baik, jika kita sayang, maka kita akan letakkan seseorang tersebut pada tugasnya, yang pandai memandu serahkan kepadanya untuk memandu dan begitulah seterusnya. Kalau hanya menggunakan perkataan sayang tetapi menyerahkan bukan kepada ahlinya maka akan punah kereta tersebut. Begitu juga Islam, semua orang sayang, namun masing-masing ada tugas. Saya tidak menafikan golongan professional punya tugas yang sangat baik jika digemblengkan sebaiknya untuk Islam. Tetapi bukanlah dibahagian hukum-hakam Islam. Bahagian hukum-hakam Islam serahkan kepada para ulama. Bidang tugas di dalam Islam bukan sedikit, banyak yang masih kosong. Kalau semua mahu melibatkan diri dalam hukum-hakam(walaupun tidak mempelajari dengan sepenuhnya secara mendalam) maka bukan semakin berjaya, tetapi semakin menambah fitnah di dalam Islam. Ini perlu difahami dengan baik. Kalau ingin melibatkan diri seperti para ulama, ayuh silakan , peluang terbuka luas untuk mempelajari ilmu Islam dengan para ulama di al-Azhar al-Syarif.

Saya berkali-kali menyebutkan, baca tulisan saya dan fahami dengan sebaiknya. Oleh kerana itulah, sengaja saya lambatkan tulisan berkenaan berpindah-pindah mazhab. Biar faham dahulu kepentingan bermazhab kemudian barulah membuka perbincangan berkenaan dengan berpindah mazhab.

Perlu difahami, para ulama mujtahid bukanlah sedikit bahkan ramai.Cuma ada yang terpelihara mazhabnya sehingga sekarang dan ada yang sudah tiada lagi. Oleh kerana itulah al-Imam Alawi al-Saqqaf rahimahullah (1255-1335H)menyebutkan di dalam kitabnya Fawaid Makkiyah bahawa para ulama menyebutkan tidak boleh mengikut mana-mana mazhab selain mazhab empat.

Apakah sebabnya? Bukanlah kerana para ulama mazhab selain mazhab empat tidak diyakini ilmunya, sebaliknya kerana ketiadaan sandaran dan sanad yang menyakinkan bahawa pendapat tersebut keluar daripada Imam-imam tersebut ( seperti al-Auza’ie, Abu Thaur, Sufyan al-Thauri, Ibn Uyaynah, Ishak bin Rahuyah, Ibn Jarir al-Tabari dan lain-lain rahimahumullah).

Oleh sebab itulah ramai para ulama menyebutkan berkenaan Imam Zaid bin Ali radhiyallahu anhuma: (( Imam Zaid merupakan seorang yang sangat tinggi kedudukannya, hebat ilmunya, tetapi kepercayaan terhadap mazhabnya sudah tiada bukanlah kerana peribadi Imam Zaid, tetapi kerana para pengikutnya tidak mengambil perhatian tentang pembinaan mazhab( serta tidak mengambil perhatian tentang sanad mazhab tersebut), maka mazhab tersebut tidak terlepas daripada berlakunya perubahan dan menyandarkan kepada Imam bukan kepada apa yang disebutkan oleh Imam itu sendiri)).

Benarlah kata-kata Imam Ibn Mubarak rahimahullah:

الإسناد من الدين, لولا الإسناد لقال من شاء ما شاء
Maksudnya: Sistem sanad tersebut adalah sebahagian daripada agama Islam, kalaulah bukan kerana sistem ini, maka orang akan menyebutkan apa sahaja yang dia ingin sebutkan.

Maksud sebenar kalam ini ialah, jika tiadanya sistem sanad maka semua orang boleh menyandarkan pendapatnya kepada sesiapa sahaja yang dia kehendaki tanpa amanah ilmu. Bila ditanya, daripada siapakan kamu mengambil pendapat ini, maka seseorang yang tiada sandaran akan menyebutkan : daripada si fulan dan si fulan dan seterusnya tanpa meraikan amanah ilmu itu sendiri.

Kembali kepada perbahasan asal berkenaan adakah kita boleh berpindah-pindah mazhab?

Kata al-Imam Ibn Hajar al-Haitami,al-Imam Alawi al-Saqqaf , dan para ulama yang lain:

“ Harus bagi seseorang tersebut untuk berpindah-pindah daripada satu mazhab ke mazhab yang lain (mazhab empat), walaupun dengan berseronok-seronok, sama ada berpindah secara berterusan atau secara sekejap sahaja(kemudian kembali semula ke mazhab asal).”

Cuma yang perlu diambil perhatian ialah berpindah-pindah mazhab dibenarkan dengan syarat tidak berlaku talfiq yang diharamkan(sehingga menyebabkan berlaku perkara yang tidak dikatakan oleh seorang pun dikalangan ulama Islam).

Apakah yang dimaksudkan dengan talfiq yang diharamkan? Para ulama menyebutkan bahawa talfiq yang diharamkan ialah mengumpulkan dan menghimpunkan pendapat ulama di dalam satu masalah yang sama menjadi satu masalah yang mana ianya tidak pernah langsung disebutkan oleh mana-mana ulama.

Contohnya seperti mengambil wudhuk dengan menggunakan mazhab syafie(menyapu sebahagian kepala), kemudian selepas itu orang tersebut menyentuh ajnabiah(wanita bukan mahramnya) dan ingin pula mengikut mazhab Abu Hanifah yang mengatakan menyentuh wanita tidak membatalkan wudhuk. Maka seolah-olah jika para imam tersebut dikumpulkan semula di hadapan kita kelak, kesemuanya tidak mengi’tiraf perbuatan kita. Al-Imam Syafie akan menyebutkan bahawa wudhuk kamu seperti yang kami sebutkan cuma bagi kami jika menyentuh wanita @ disentuh akan membatalkan wudhuk. Orang tersebut menjawab: Aku menyentuh mengikut mazhab Abu Hanifah. Maka Imam Abu Hanifah pula akan menjawab: Memang benar mazhab kami mengatakan bahawa wudhuk tidak akan batal jika disentuh atau menyentuh wanita ajnabiyah(kerana bagi mazhab Abu Hanifah , bersetubuh barulah membatalkan wudhuk) tetapi cara kamu mengambil wudhuk bukanlah seperti yang kami letakkan (kerana hanya meyapu sebahagian kepala sahaja) .Kata Imam Abu Hanifah lagi: Bagi mazhab kami, wajib menyapu kepala keseluruhannya. Jadi kamu tetap tidak mengikut mazhab kami.

Inilah contoh talfiq yang tidak dibenarkan,tetapi jika kita contohnya berwudhuk menggunakan mazhab Syafie, kemudian berniaga di pasar menggunakan mazhab Abu Hanifah, keesokkan harinya berwudhuk menggunakan mazhab Abu Hanifah dan seterusnya maka tiadalah masalah padanya. Ini perlu kepada pemahaman usul fiqh yang baik. Perbahasan talfiq ini sangat panjang. Perlu dibahaskan pada masa yang akan datang.

Jadi, kesimpulannya ialah,para ulama tidak pernah menghalang untuk kita berpindah-pindah mazhab, malah tidak mewajibkan untuk kita berpegang dengan satu-satu mazhab (tanpa membenarkan untuk berpindah mazhab).

Cuma, perlu difahami kalam para ulama, tiada seorang pun yang menyebutkan tidak mengapa kalau tidak bermazhab langsung. Tidak pernah kami (yang belajar dengan para ulama secara terperinci dan membaca kitab-kitab para ulama)mendengar dan menjumpai para ulama menyebutkan bahawa tidak perlu untuk bermazhab. Ini kefahaman yang perlu diperbetulkan. Kefahaman “tidak perlu bermazhab” bukanlah perkara yang baharu, janganlah kamu berpura-pura menyokong para ulama ahlussunnah seperti Syeikh Muhammad Said Ramadhan al-Buti(mazhab Syafie), Syeikh Ali Jumaah(mazhab Syafie), Syeikh Wahbah Zuhaili(Mazhab Syafie) dan sebagainya sedangkan kamu langsung tidak memahami pendapat yang mereka sebutkan. Baca sendiri kalam mereka( Bukan sekadar membaca, tetapi memahami sebagaimana para ulama yang membacanya memahaminya). Mereka juga bermazhab walaupun sudah mencapai peringkat yang tinggi di dalam Ilmu mereka.

Sekali lagi saya sebutkan, baca dengan hati yang terbuka dan ilmu yang disadur dengan iman, bukan dengan hawa nafsu dan pendapat-pendapat kurang ilmiahnya. Terima kasih kepada semua.Dan perlu diingat, golongan wahabi sejak akhir-akhir ini baru menyebutkan bahawa mereka bermazhab, setelah dikecam oleh para ulama. Rujuk kitab " alla mazhabiyah" oleh Syeikh Muhammad Said Ramadhan al-Buti kamu akan dapati hujah-hujahnya kepada golongan yang tidak bermazhab dan baru ingin menempelkan diri mereka kepada mazhab.

Wallahu a'lam.

Rujukan:

1. Fatawa Hadithiyah oleh Al-Imam Ibn Hajar al-Haitami rahimahullah cetakan Darul Taqwa
2. Mukhtasar Fawaid Makkiyah oleh al-Imam Alawi al-Saqqaf cetakan Darul Basya’ir Islamiyah tahqiq Dr. Yusuf Mar’ashli
3. Risalah Talfiq di dalam Fatwa oleh Doktor Saad Anzi, Majalah Syariah keluaran Kuwait Jilid 38.

Mohd Nazrul Abd Nasir,
Rumah Kedah,
Hayyu 10,

Posted by Mohd Nazrul Abd Nasir at 9:42 AM

Dipetik dari blog Dari Anjung al Atrak