Jika salah seorang di antara wanita ditanya, mengapa dia tidak berhijab? Maka saudari yang terhormat ini akan menjawab: "Ah, iman itu letaknya di hati". Ini adalah jawaban yang paling sering dilontarkan para wanita muslimah yang belum berhijab. Di bawah ini akan kita bahaskan kekeliruan tersebut.
Sumber Kekeliruan:Mereka berusaha menafsirkan sebagian hadith, tetapi tidak sesuai dengan yang dimaksudkan. Seperti dalam sabda Nabi SAW: "Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk-bentuk (lahiriah) dan harta kekayaanmu, tetapi Dia melihat pada hati dan amalmu". Nampaklah, bahawa mereka menggugurkan makna yang semestinya, iaitu kebenaran yang dipesongkan kepada kebatilan.
Memang benar, iman letaknya dalam hati, tetapi iman itu tidak sempurna bila dalam hati saja. Dengan hadith ini Rasulullah SAW hendak menjelaskan makna keikhlasan bagi diterimanya suatu amal perbuatan. Allah tidak melihat bentuk-bentuk lahiriah, seperti pura-pura khusyu' dalam solat dan sebagainya, tetapi Allah melihat hati dan keikhlasan niat dari segala yang selain Allah. Dia tidak menerima suatu amal perbuatan kecuali yang ikhlas untuknya semata.
Rasulullah SAW bersabda: "Taqwa itu ada di sini", seraya menunjuk ke arah dadanya" Pengarang kitab Nuzhatul Mutraqin berkata: "Hadith ini menunjukkan, pahala amal tergantung keikhlasan hati, kelurusan niat, perhatian terhadap situasi hati, kejelasan tujuan dan kebersihan hati dari segala sifat tercela yang dimurkai Allah" Definisi Iman tidak cukup hanya dalam hati. Iman dalam hati semata tidak cukup menyelamatkan diri dari Neraka dan mendapatkan Syurga.
Definisi Iman menurut jumhur ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah : "Keyakinan dalam hati, pengucapan dengan lisan dan pelaksanaan dengan anggota badan". Definisi ini terdapat dalam setiap buku akidah (tauhid), kecuali buku-buku yang menyimpang dan tidak berdasarkan manhaj (method) Ahlus Sunnah wal Jama 'ah. Kesempurnaan Iman dalam tasawwur (gambaran) kita, orang yang mengatakan iman dengan lidahnya, tetapi tidak disertai keyakinan hatinya, itu adalah keadaan orang-orang munafik. Demikian pula orang yang beramal hanya sekadar aktiviti anggota tubuh, tetapi tidak disertai keyakinan hati, itu merupakan keadaan orang-orang munafik.
Pada masa Nabi SAW, mereka sentiasa solat bersama beliau, berperang, mengeluarkan nafkah, pulang pergi bersama kaum muslimin, tetapi hati mereka tidak pemah beriman kepada agama Allah. Kepada mereka, Allah menghukum sebagai orang-orang munafik, dan balasan untuk mereka adalah berada di dasar Neraka. Demikian pula orang yang beriman hanya dengan hatinya tapi tidak disertai dengan amalan anggota badan. Ini adalah keadaan iblis. Dia percaya pada kekuasaan Allah, Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia meminta penangguhan kematiannya, dia juga percaya terhadap adanya hari Kiamat, tetapi dia tidak beramal dengan anggota tubuhnya. Allah berfirman bermaksud:"LA (iblis) enggan dan takabur dan dia termasuk golongan orang-orang kafir".(Al Baqarah:34)
Dalam Al Qur'an setiap kali disebutkan kata iman, selalu disertai dengan amal, seperti: "Orang yang beriman dan beramal saIih ...........Amal selalu beriringan dan merupakan konsekuensi iman, keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan. Kepada saudari yang belum berhijab dengan alasan "iman itu letaknya di hati", kami hendak bertanya, andai kata seorang guru besar sekolah memintanya membuat laporan, atau mengawasi murid-murid, atau memberi pelajaran kokurikulum, atau menjadi pengganti guru yang tidak dapat hadir atau ada pekerjaan lain, logikkah jika dia menjawab: "Dalam hati, saya terima dan sudah faham terhadap apa yang diminta oieh guru besar kepadaku, tetapi aku tidak mahu melaksanakan apa yang dikehendakinya dariku". Apakah jawaban ini dapat diterima? Lalu apa akibat yang bakal menimpanya? Ini sekadar contoh dalam kehidupan manusia. Lalu bagaimana jika urusan ini berhubungan dengan Allah, Tuhan manusia yang memiliki sifat Yang Maha Tinggi?
Ditulis Syaikh Abdul Hamid Al Bilaly.
Dipetik dan diedit dari Haluan Tarbawi
No comments:
Post a Comment